Pages

Senin, 01 Juli 2013

Berkepanjangan mimpi semalam, dan aku rasa telah menemui arah untuk episode keindahaan lakonku. Namun cerita dari skenarionya telah mematahkan jarum kompas hingga peranku tak lagi berhaluan, melolong bagai srigala kehilangan hutan.

Berjuta kerinduan khayalku untuk menemuimu, mengapung awan putih menghias langit, membiru damai dalam tatapmu. Kemarin hari banyu pun seakan enggan untuk menemui dinding tangisanku. Ahh... Sekali lagi, semua adalah taring yang mencakar perih.

Ini hari bagiku, aku tak lagi memiliki banyak waktu untuk tenggelam dalam lumpur keresahaan. Disini, dan masih di Bukit Rindu ini. Aku akan menjula diri untuk menyingkirkan jejak serta nafas penghalang tentang kenanganmu meski sebagian umurku telah penuh dengan lembar merah berisi namamu.

Abstraknya Jiwa Mochammad Nashril
 — di Bukit Rindu

30 Juni 2013
Ini terik yang kutemui, singgasana adalah padang gurun tanpa teduh kunikmati. Lalu aku bertanya, dimana kedamaian bersih? Entahlah, kerap yang kutemui hanyalah angin damai sesaat.

Telah engkau tawarkan secawan anggur
Lalu aku menekur haus
Sesaat aku terbuai dalam asa keindahan
Lalu lenyap tanpa meninggalkan jejak
Yang ada hanya sesak nafas untuk dikenang

Ah, sudahlah... Ini taqdirku!!

Mochammad Nashril, dalam risau
 — di Bukit Rindu.

29 Juni 2013
Jangan pernah ditanya siapa dan bagaimana aku, semua telah terbungkam dalam sudut peraduan dan kengerian luka. Saat kau bergelut dengan kebahagiaan, hanya jari lentik ini menyentuh ujung kelopak mata hingga terpancar sesungging senyum wewangian yang kutabur untuk perjalananmu.

Kisahku hanyalah apungan buih tak berpedoman, kemana angin itu berhembus dan saat itu pula ia menghilang tanpa jejak atau bekas mambenci keakuan yang tak bersahabat dengan kehampaan menjelma.

Berbahagialah engkau dengan sebuah sikap ketentuanmu, biarlah aku akan memperbaiki puing-puing hati yang berserakan meski langkah belum memiliki arah atau tujuan nyata. Namun aku akan senantiasa menyiram benih bunga untuk kutabur jika ikhlas menepi sisi bahagiaku.

Aku dan Kelukaan itu, Mochammad Nashril
 — di Bukit Rindu.

29 Juni 2013
Terlukisnya sebuah kisah dalam megah panorama keindahan, telah berbentuk dan menyerupai ketika sepi menyenting dengan denting kesunyian sebagai selimut malam dari awal keresahan menerpa. Adakalanya ingin kumaki perjalanannya jika hampa membayang serta mengikuti jejak dan nafasku.

Inilah aku telah berbekal ketulusan dari mencintaimu yang tak kutemui ujung kisah dari skenario kebahagiaannya. Semua tentang luka, telah aku singkirkan dengan sesungging senyum dari jiwa agar aku tak pernah lagi mengurai air mata hingga menenggelamkanku pada indah fatamorgana. Dan hakikat aku dan kamu takan pernah terpisahkan meski hati dalam persimpangan berbeda.

Terima kasih untuk kisah yang tak pernah dibaca dan dicatat semua orang, dengan demikian aku akan lebih memahami untuk membahagiakanmu.

Kasih Tak Sampai,
Mochammad Nashril
 — di Bukit Rindu.

26 Juni 2013
Masih saja ada sisa jejak dan nafas untuk dikenang, beraromakan wewangian adalah benih yang tertanam dalam awal musim perjalannya. Saat engkau berlalu, aku tetap terdiam dengan kesumringahan yang ada walau lentik jemari menusuk ulu hati mencakar kebahagiaan dengan tangis terbendung kesadaran.

Ini aku merindukanmu seperti malam dengan rembulan tersembul menyinari buana, sedangkan apa yang ia temui? Biarlah ia terpancar hingga ufuk barat yang akan menenggelamkannya.

Tertinggal sebuah episode, dimana cerita aku dan kamu tak pernah tercatat dan dibaca semua orang. Ya, seperti cerpen seorang pujangga. Namun memori yang terekam kisah akan senantiasa tercatat dan aku baca, dalam hatiku saja.

Dalam kerinduan, Nashril Moelyadi
 — di Bukit Rindu.


24 Juni 2013