Pages

Rabu, 18 Juli 2012

Sebutir mutiara Illahi penyejuk jiwa damai

Dan adalah tangis yang kutemui tatkala hati tak mampu bertutur serta dzahir yang tak mampu bergerak saat kilau embun jatuh dan meresap ke dalam tanah sebuah hati. Rasa takut kemarin lalu adalah alfa sebuah sikap ketika mata memerah terbangun dari mimipi lalu yang telah bersemayam.

                 Jika aku harus menghiba, beri sedikit ruang atau lentera sebab malamku pekat dan harapan dari nyanyian yang disenandungkan lewat dawai ghaib masih membayang remang.

                Terjatuh dalam angkara atau membumbung tinggi melihat luas langit biru, adalah titian Illahi yang akan kutapaki bersama ikhlas mentari pada buana.
Aku pun tak berharap jika fatamorgana menghiasi titian langkah yang akn kita titi kaki, dan berwujudnya alunan kisah adalah kisaran do'a yang kudamba.

                Harapku kian memutih, sepercik air telah membasuh permukaan dari perih. Dan lolongan srigala takan mampu menghalangi langkah dalam sujudku.

                Sebutir mutiara Illahi penyejuk jiwa dengan damai.

                 Semua telah kulepas segala senandung tentang harap dari terjal gemuruh badai yang aku rasa sering menyudutkan dalam setiap akhir episodenya. Adalah lirih dari cara bahasamu yang senantiasa kutemui dalam alur ceritanya hingga aku tersungkur dalam tersembunyi dari bijak dalam tutur dan berpikir, sehingga semua telah menuntunku tanpa cemas dalam harap.

                Ingin kupelajari lirih bait bahasamu tentang kesetiaan pada Illahi, hingga takdir menemukanku dalam peraduan seperti lantunan nada ghaibmu yang bersenandung untuk bahagiaku, “Semoga aku dapati pendamping hidup yang tak ragu menegur saat aku hilaf terlarut dalam sedih. Saat aku senang, terlalut dalam kenikmatan duniawi. Dan, saat aku merindukan-Nya, bidadari ini kemudian mengajaku bersama-sama sujud dalam permadani hijau yang membentang”.

                Kisahku… Terima kasih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar