Pages

Rabu, 11 Desember 2013

Keberanian Yang Tersimpan

Lepas senja dengan selembar kertas atas nama kisah, laut membiru dengan gumpalan ombak membelah sejengkal harap angin berlalu. Risauku telah hadirkan kata-kata dari kemuraman bahasa bertajuk ruang hampa imajinasi. Disinilah, semilir angin membantuku dengan sisa dan jejak uraian kalimatnya.

Terima kasih engkau, yang senantiasa membisiki pagi dengan bening embun sebagai sumber inspirasiku, dan lebih besar terima kasihku dengan diluaran damba yang kutiti kaki telah berpijak pada helaian kisah bertemakan aroma menusuk jika tercium malam berselimut rembulan yang memayungi teduh nirwana.

Sayu terpancar tatap mata
Rindu menggurat
Berhias cakrawala keindahan
Buih mengapung angin nan lalu
Kilauku selembut bening berkias

Curah hujan terhenti kesucian
Menjelma karang tanpa takut menghadap badai prahara

Dan angin itu berlalu, berganti dan berbisik "akulah kisahmu yang sesungguhnya".

Sabtu, 23 November 2013

Catatan Pertama Setelah Kepergianmu

Saat engkau berlalu, ada perasaan hambar yang tak begitu berwarna, namun aku rasa bagai mengambang di atas hamparan laut yg tiada debur ombak, sehingga kesunyian teramat menekan. Elegi yang kau tinggal menaburkan wewangian sekaligus bau yang menusuk, sehingga semuanya mengguratkan dilema dalam masalah yang begitu pelik.

Menderitakah setelah engkau berlalu? Atau bahagiakah aku setelah terlepas dari bayang-bayang kelukaan yang panjang? Entahlah... yang jelas aku bagai menemukan secercah harapan baru. Seperti si buta yang dapat membuka mata dari kebutaannya.

Di sini... dalam buaian musim ini, di bukit rindu ini aku masih mencari kedamaian lain, kedamaian dari wujud perjalananku yang gontai oleh amukan ombak prahara. Aku tak akan bertanya kemana langkah akan menuntunku, namun aku akan mengarungi samudra kehidupan ini tanpa layar yang robek lagi sehingga takdir menemukanku dalam kokohnya kemudi dan haluan yang terarah diterpa kesejukan pawana yang membelai hingga kedalaman sanubari.

Engkau... pergilah engkau dalam paruh waktu yang tersisa. Pergilah... mungkin kedamaian, baru akan kau dapatkan dan kau rasakan, itu pun kalau kau merasa pernah menabur benih bunga dengan wanginya, dan di sini aku akan membenahi seluruh onak yang pernah kau taburkan dan akan menyingkirkan sebilah ranting penghalang keindahan sajak-sajakku.

Terima kasih atas semua inspirasi yang kau ungkapkan dan aku akan berusaha mengeja setiap uraian kalimatnya dan aku akan menyusun kembali puing-puing hatiku yang berserakan agar kembali berwujud keindahan alunan syairku. Untuk kunikmati setiap saat jika mengenangmu.

Jumat, 22 November 2013

Persinggahan Terakhir Sang Penanti

Tak ada harapan, tak ada kecemasan dan yang ada hanya kesunyian disepanjang jalanku.

Selamat untukmu...! Ini adalah pemaparan terakhir dari sebuah bijak penantian. Tak ada lagi segala omong, tak ada lagi yang mesti aku ungkapkan bahkan tentang kecantikanmu.

Sepenggal do'a yang masih ingin kusampaikan walau dari jauh, sekaligus untuk mengakhiri tentang penantian. Dengan hadirnya kebahagiaan baru dalam kehidupanmu, semoga tak ada lagi badai menerpa atau ranting-ranting penghalang untuk kebahagiaanmu. Demikian harapku tulus untukmu dan ketulusanku untuk mengakhiri sebuah harap tentangmu.

Tentang aku biarlah merepih kembali mimpi-mimpi pada cabang harap yang lain jika ada, dan aku pun akan menyusun kembali puing-puing hati yang berserakan agar kembali berwujud untuk keindahaan alunan syairku.

Sekali lagi, selamat untukmu dan jangan pernah lupa.
Aku selalu mengharapkan yang terbaik buatmu.

Rabu, 20 November 2013

Tentang Kau, Aku dan Dia

Entahlah malam ini ingin kutuliskan sebuah kisah, dan entah apa yang menjadi obsesiku. Yang jelas hanya sebuah kenangan tercipta dalam memaknai arti ketulusan tentang persahabatan.
Tujuh tahun berlalu, harapan pun telah kubungkam berserta merta keinginan yang sempat tersirat sebelum mengawali kisahnya.
“Ren, nampaknya mulai besok kamu harus belajar mandiri tentang pekerjaan ini. Kamu harus bisa membereskannya sendiri tanpa bantuan saya, Insya Allah tinggal beberapa hari lagi saya mau berhenti kerja disini, atau mungkin besok saya mulai berhenti.” Aku memulai percakapan sambil merapihkan sofa yang kami kerjakan berdua.

“Akang mau kemana sampai mau berhenti kerja disini?” Tanya Rendi dengan nada heran.

“Akang mau mencari pengalaman baru dan mencoba untuk mengadu nasib pergi ke Bandung.” Jawabku dengan tidak menjelaskan tujuanku pergi ke Bandung. Dan dia pun yang saya perhatikan mulai lancar dalam membuat sofa, setelah setahun membantu saya.

“Oh, iya! Jangan lupa sampaikan salam saya buat Rafsya, insya Allah nanti ba’da maghrib saya mau ke rumah kamu, mudah-mudahan Rafsya ada.” Timpalku dan mengakhiri percakapan. Dan Rendi pun hanya dapat meng “iya” kan saja.

Rafsya adalah teman dari Rendi yang pertama kali kujumpai dalam acara sebuah lawatan pengajian remaja di mesjid lingkungannya. Dan dari pertama kali melihatnya aku mulai merasakan yang mungkin dinamakan cinta. Namun harus bagaimana untuk memulai membuka tabir itu, yang sementara Rendi sendiri satu-satunya harapan saya untuk menjembatani seolah-olah tidak memfasilitasi saya untuk kenal sekali pun dengan Rafsya. Niatan saya untuk menemuinya pun tak pernah tersampaikan.

Enam bulan setelah kepergianku ke Bandung tanpa keberhasilan, akupun memutuskan untuk kembali ke Garut dan kembali ke pekerjaan lama.

“Assalamu’alaikum.” Kusapa Rafi yang sedang bergelut dengan pekerjaannya di sebuah layanan jasa photo copy.

“Wa’alaikum salam..!! Eh kamu Mad, kapan dari Bandung?” Jawabnya sambil bertanya kepulanganku. Hingga sampai tutup toko kami ngobrol ngalor-ngidul tentang pengalaman selama enam bulan tidak bertemu.

Rafi sahabatku ini memang akrab denganku, bahkan bisa dikatakan susah senang kami selalu berbagi.

“Kamu sekarang lagi dekat sama orang mana, Fi?” Tanyaku untuk membuka kembali obrolan yang sempat tadi tertunda.

“Entahlah Mad, mungkin ini sudah menjadi nasib saya. Beberapa bulan kemarin saya mengungkapkan perasaan cinta saya melalui surat yang saya titipkan lewat temen sekolahnya, tapi balasan yang saya terima jauh dari harapan saya. Dia tidak menerima cinta saya.” Ceritanya untuk menjawab pertanyaan saya.

“Hmm... Kalau boleh tahu sipa perempuan itu dan orang mana?” Tanyaku dengan heran, keheranan saya adalah lelaki yang menurut saya tampan bisa juga di tolak perempuan, “perempeuan seperti apa sih yang dia mau, orang setampan dia kok ditolaknya. Ah, mungkin perempuan itu memiliki alasan tertentu untuk menolaknya.” Gumamku dalam hati.

“Dia orang deket sini juga, rumahnya disebrang toko ini.” Jawabnya singkat. Dan akupun mulai memiliki untuk membantu memperjuangkan cintanya untuk dia dapatkan.

“Oya! Siapa orang itu mungkin saja saya kenal dia, dan mungkin saya bisa membantu kamu untuk mendapatkannya?” Timpalku menanyakan lagi nama perempuan itu serta menwarkan jasa untuk membantunya.

“Rafsya, kamu kenal gak?” Ada getir menjilat hati, perasaan berkecamuk, berbaur antara perih dan rasa tak percaya. Bagaimana pun aku mencintainya, namun dengan segala keterbatasan yang kumiliki aku tak pernah bisa mengatakannya. Terlebih saat ini sahabatku sendiri menginginkannya. Pikirku saat itu untuk kebaikan persahabatan ikhlasku, “ya, lebih baik aku membantunya. Mungkin jika aku mengungkapnya, orang setampan dia dan lebih berkecukupan bila dibandingku bisa ditolaknya apalagi aku. Dan dengan demikian akupun bisa berbahagia jika sahabatku ini bisa berbahagia dengan Rafsya.”

“Rafsya, aku kenal Fi. Seberapa besar cintamu terhadap dia? Dengan berpura-pura memperhatikan dan berkonsentrasi terhadap tanganku yang memainkan gitar, agar dia tidak tahu jika mataku berkaca dan air matanya hampir terjatuh.

“Aku sangat menginginkanya, Mad.” Jawabnya singkat.

“Jika kamu benar-benar menginginkannya, insya Allah saya siap membantu.” Dengan hadir kembali keceriaan dalam hati, aku mulai membuat sebuah konsefan puisi, namun beberapa kali aku mengulanginya, nampaknya teramat sulit bagiku untuk membuat puisi malam itu. Dan akhirnya aku ingat salah satu puisiku yang pernah di bukukan dan diterbitkan sebuah komunitas pujangga Garut. Tanpa pikir lagi aku menuliskan puisi itu untuk ia kirimkan kepada Rafsya.

Hari-hariku berjalan dengan rutinitas sebagai buruh yang bergerak dibidang furniture. Tanpa sebuah harapan, tak ada kecemasan bahkan tak ada pula mimpi-mimpi untuk meraih kebersamaan. Fokusku saat itu bagaimana aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi sahabatku yang menginginkan kebersamaan dengan Rafsya.

“Ren, nanti malam kamu ada acara gak ?” Tanyaku kepada Rendi.

“Enggak, mungkin habis pulang ngajar ngaji aku di rumah saja! Memang ada apa, Kang?” Dia berbalik tanya.

“Nanti malam Akang mau ke rumah kamu dan akang mau minta tolong kamu untuk mempertemukan Akang dengan Rafsya. Bukan untuk kepentingan Akang, tapi untuk sahabat Akang. Kamu tahu Rafi kan? Dia menginginkanya, maksud Akang nanti malam kerumah kamu untuk memberikan nomor handphone Rafi, sekalian Akang juga ingin bertemu dengannya. Tapi kamu jangan pernah bercerita tentang harapan Akang yang dulu sempat berharap kepada Rafsya, ya?” Panjang lebar aku menjelaskan maksudku yang sudah diinisiatfkanku sebelumnya. Ada rasa takut juga kalau-kalau Rendi menceritakan harapanku yang dulu tersirat terhadap Rafsya.

Inilah ujianku dalam persahabatan. Ikhlasku dengan harapan untuk kebaikan semua bisa terwujud. Tepat ba’da isya, terlihat dengan jelas ketika berjalan menghampiri sebuah rumah, kupandangi bulan yang tanpa mega menutupi. “Rabb, harus seperti purnama itu yang menerangi buana ini yang tanpa pamrih dalam berbuat kabaikan.” Gumamku dalam perjalanan.

“Assalamu’alaikum...” Dengan suara lantang aku ucap salam dan mengetuk pintu rumah Rendi.

“Wa’alaikum salam...!! Eh Akang, yuk masuk.” Ajak Rendi.

“Gak usah Ren, disini saja” Pintaku saat itu.

“ Sebentar Kang saya panggil dulu Rafsyanya.” Sambil memutar badan dan memanggil Rafsya yang memang rumahnya agak berdekatan.

Jantungku berdetak kencang, dengan samar dibawah cahaya purnama sesosok gadis cantik menghampiriku dengan rambut terurai, serta menggunakan jaket dan celana jean’s yang samar-samar kulihat warnanya. Namun untuk kecantikannya begitu terlihat jelas. Bagaimapun aku pernah berharap kepada Rafsya.

“Eeehh, Kang Achmad... Bagaimana kabarnya Kang?” Sapa gadis cantik itu dengan mengulurkan tangan. Dengan jantung yang masih berdeguk kencang, aku menjabat tangannya.

“Alhamdulillah kabar Akang baik-baik saja”. Sambil melepaskan jabatan tangan, aku menjawabnya.

“Bagaimana perkembangannya dengan Rafi?” Timpalku menanyakan tentang PDKT Rafi terhadapnya.

“Ya sebatas itu-itu saja.” Tanpa bisa kuterka tentang perasaanya terhadap Rafi, seperti itulah jawabannya.

“Ini nomor handphone Rafi, bisa di ingat gak?” Dengan menyebutkan satu-satu dari dua belas angka pada layar handphoneku, dan di ikutinya.

“Aku hafal nomornya.” Dengan menyebutkan angka-angka tadi.

“Nanti Rafinya di SMS ya?! Jangan pernah merasa malu untuk menghubunginya, sebab dia sangat berharap sama Rafsya.” Kataku yang dibalas dengan senyumannya yang mungkin meng“iya”kan. Dan aku berpamitan untuk pulang.

Seperti gemericik air dimusim hujan, ia turun kebumi hanyut kedalamnya dan entah kemana harapan itu bermuara. Aku yang berniat membantu sahabat, begitu tulus melakukannya.

“Gimana Fi, Rafsya kirim SMS gak? Sahutku malam itu menanyakan yang kurencanakan. Dan sebelumnya setelah beberapa hari saya dan Rafi tak bertemu.

“Ada, ini SMSnya belum dihapus. Tadinya aku pikir SMS dari orang yang salah sambung.” Sambil memperlihatkan handphonenya Rafi menjawab.

“Coba saya baca, boleh gak?” Dengan sumringah aku ingin tahu isi dari SMSnya.

“Boleh!” Singkat jawabnya dan memberikan Handphonenya kepadaku. “Di pagi yang cerah ini A. Rafi lagi apa? Dah mandi belum?” Demikian isi dari SMS itu.

“Hari minggu nonton yuk ke bioskop, kebetulan ada film “Heart” sekalian ajak Rafsya ikut?!” Ajakku malam itu pada Rafi.

“Bener ni, aku pingin nonton film itu, kebetulan aku ingin tahu suasana nonton di bioskop.” Jawabnya dengan semangat.

“Tapi kira-kira bakalan mau gak ya kalau kita ajak?” Timpalnya pesimis.

“Coba saja dulu ajak, mungkin dia mau kok.” Jawabku menyemangatinya.

Minggu pagi dimana pada keramaian lapangan olah raga merdeka Kerkof, entah disengaja atau tidak.

“Hai..., kenapa dah pulang?” sahutku pada Rafsya yang nampaknya akan meninggalkan lapangan itu.

“Iya, aku belum beres-beres rumah” Mungkin dengan candaan khasnya, Rafsya menjawab. Sementara Rafi dan salah satu temanku hanya bisa memperhatikan percakapanku dengan Rafsya.

“Gimana nanti siang jadi gak nontonnya?” Tanyaku pada Rafsya yang sebelumnya sudah di ajak sama Rafi.

“Insya Allah...” Dengan tersenyum ia menjawabnya.

“Nanti kalau jadi tunggu di depan bioskop saja ya?” Kataku sebelum berpisah di lapangan itu. Rafsya hanya menganggukan kepala dan keluar dari arena itu.

Sesuai yang telah dijanjikan sebelumnya, berdiri di depan bioskop seorang gadis cantik mengenakan kemeja warna pink dan memakai rok warna putih yang dipadukan dengan kerudung warna putih pula. Terkesima aku melihatnya, inilah Rafsya yang dulu pernah membuatku jatuh cinta, berbeda dengan pertemuan malam itu ketika aku menemuinya untuk memberikan nomor handphone Rafi. Dengan kesadaran yang ada, “Astaghfirulloh, dia bukan untukku.” Gumamku dalam hati.

Setelah kami menemui Rafsya, kuajak mereka untuk membeli makanan ringan ke salah satu toserba yang dekat dengan bioskop itu.

Dari awal kami menyimak film yang populer saat itu, dan nampaknya beberapa pasang mata tertuju, fokus pada pemutaran film “Heart” yang aku pikir hampir mirip kisahnya dengan kisahku. Jika ada... Ya, jika ada yang memperhatikan, sepasang mata berkaca hingga tak mampu membendung air mata. Itulah tangisan dari seorang lelaki yang tidak pernah diketahui cintanya, dan lebih memilih untuk membahagiakan sahabatnya. Tak apa, ini adalah tangisan untuk kebaikan semua. Semoga kamu akan selalu berbahagia sahabatku!

Sejak saat itu, aku tak pernah mendapati kabar dari mereka. Dan yang kutahu mereka telah resmi berpacaran, akupun merasa bahagia atas kebahagiaan mereka.

Setelah beberapa bulan atau mungkin satu tahun. Tepat beberapa hari setekah hari raya idul fitri, kembali kutemui Rafi dan mengajaknya kerumah saudara salah satu teman sekampungku untuk memancing di daerah Cisurupan, hitung-hitung refreshing dan menghabiskan masa liburan kerja. Sore itu sehabis mancing dan makan-makan aku mengajak Rafi ke rumah suadara yang terletak di daerah Cikajang, kutemui seorang gadis tapi tidak membuatku jatuh cinta. Dalam perjalanan kembali ke Cisurupan sambil mengendarai motornya Rafi menoleh ke belakang dimana aku duduk di belakngnya.

“Gimana Mad mau di terusin gak dengan gadis tadi yang ada di rumah saudaramu?” Tanyanya.

“Tidak Fi, dia tidak bisa membuatku jatuh cinta. Kalau sama gadis itu aku mau.” Kataku sambil menunjuk seorang gadis yang di bonceng remaja yang mungkin baru menginjak SMP dan tepat didepan motor yang Rafi kendarai.

Entah apa yang dilakukan Rafi, tiba-tiba motor itu berhenti dan gadis itupun turun dari motor, sementara anak remaja yang memboncengnya pergi entah kemana. Kemudian Rafi pun menghentikan motornya tepat didepan gadis yang belum diketahui namanya itu.

“Rafi!” Sambil mengulur tangan Rafi menyebutkan namanya sendiri.

“Susi” Jawab gadis itu dengan menjabat uluran tangan Rafi. Sementara aku yang punya niatan untuk memikat gadis itu, hanya bisa bengong saja sebelum sadar karena Susi mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya kepadaku. Kemudian kami pun bertukeran nomor handphone.

Entah apa yang ada dipikiran Rafi saat itu. Entahlah...???!!

Malam hari dirumahku yang tidak ada siapa-siapa karena seluruh keluarga pergi kerumah nenek yang berada di Singajaya, kecuali aku sendiri yang ada dirumah. Sepulang dari Cisurupan. Seperti janji yang telah direncanakan siang hari, kami sepakat untuk masak-masak ikan dirumahku.

Dengan kesibukan tugas masing-masing dalam acara masak-masak itu. Aku sempatkan bertanya sama Rafi.

“Apa yang kau lakukan Fi, cengar-cengir begitu?”

“Ini Mad aku lagi SMSan sama si Susi.” Jawabnya seolah tak mengingat Rafsya kekasihnya. Sebetulnya aku ingin marah, tapi untuk apa marahku? Aku ingin menegurnya, tapi aku takut kalau dia bilang aku ini so-soan mengatur hidupnya. “Semoga tak terjadi apa-apa dengan Rafsya. Maafkan akang Sya, Akang tak bisa untuk mencegahnya. Dan mudah-mudahan tak terjadi sesuatu yang tak di inginkan dalam hubungan kalian” Terucap sebuah harap dan do’a dalam hati untuk kebaikan hubungan Rafi dan Rafsya.

Harapanku tetap, agar Rafi dan Rafsya segera untuk menikah, apalagi tersiar kabar dari Rendi jika mereka akan segera melangsungkan pernikahaan. Lama aku tak menghampiri Rafi, bahkan aku mendengar dia akan segera melangsungkan pernikahan pun tahu dari Rendi teman kerjaku juga teman Rafsya.

Tanpa diduga pada malam itu HPku berbunyi tanda SMS masuk. Setelah kubaca, aku hanya terdiam dan tidak segera kubalas, tiada taranya aku bingung sebab SMS itu datang dari Rafsya yang menanyakan tentang perubahan sikap Rafi. Dan memang aku tidak pernah tahu kelanjutannya tentang bagaimana Rafi bersama Susi. “Akang tidak tahu Sya, sudah lama Akang tak bertemu dengan Rafi.” Demikian jawabku dalam membalas SMS itu.

Nampaknya perbuatan Rafi sudah tidak bisa di toleransi lagi. Namun apa dayaku tidak bisa berbuat banyak hal untuk mencegahnya. Rafi melakukan perselingkuhan dengan Susi, itupun atas pengakuan Rafi kepadaku yang aku temui keesokan harinya setelah menerima SMS dari Rafsya. Sungguh sebuah dilema bagiku saat itu, “Rabb, berikanlah kebaikan kepada kami.” Do’aku malam itu.

Ba’da maghrib bahakan aku belum sempat selesai membaca Al-Qur’an.

“Bang itu ada tamu mau ke Abang.” Kata adik perempuanku diluar kamar memberi tahu kalau ada tamu untukku malam itu. Setelah membereskan Al-Qur’an dan sajadah. Kuhampiri mereka dan betapa kagetnya, tanpa diduga Rafsya yang ditemani Rendi datang kerumah. Dan yang membuatku bertanya-tanya ada apa dengan Rafsya sebelum mengungkap apa yang terjadi terlihat dari kedua kelopak matanya telah nanar dan berkaca.

“Ada apa?” Tanyaku pada Rafsya yang aku kira tak mampu untuk berkata-kata.

“Katakan saja Sya sebelum semua terlanjur, tadi kan datang kesini mau menjelaskan tentang dia (Rafi).” Sambung Rendi seolah mendesak agar Rafsya mengatakan yang terjadi.

Entah apa yang dikatakan Rafsya saat itu dengan isak tangis seolah merasakan sakit atas perlakuan Rafi, sehingga yang kutangkap hanya perkataan yang menanyakan tentang perubahan sikap Rafi terhadapnya.

Dan inilah ujian sesungguhnya persahabatanku dengan Rafi. Bagaimanapun Rafi adalah sahabatku, sementara Rafsya yang berjiwa perempuan dengan kelemahnnya. Dan aku yang seperti banyak orang mengatakan tentangku, seorang yang peka terhadap orang lain. Sungguh menyimpan kekecewaan terhadap Rafi yang telah menyia-nyiakan Rafsya dengan kesetiaannya. Tidak seperti dugaan Rafsya saat ini yang menduga jika aku memberi tahu perselingkuhan Rafi dengan Susi karena ada hati terhadapnya.

Wallohi jika aku harus bersumpah, pada saat itu aku mengatakannya tidak ada niatan sedikitpun untuk memilikimu. Aku mengatakannya karena tangisan seorang perempuan yang menghiba tentang kejelasan sebuah hubungan karena perubahan sikap. Bukan yang seperti saat ini yang kau tuduhkan untuku, aku masih punya hati mesti aku sempat berharap tentangmu. Siapa Rafi saat itu bagiku? Mungkin aku telah gila jika mengatakan hal itu dengan harapan dapat memilikimu.

Tak apa, jika kamu menuduhku seperti itu. Dan aku sangat menyesal telah bercerita bagian masa laluku yang sempat berharap tentangmu jika dugaanmu seperti itu. Perlu kamu ingat, waktu itu niatanku hanya ingin menyelamatkanmu dari perselingkuhan bukan untuk sebuah harapan bisa memilikimu

“Akang mau kemana sampai mau berhenti kerja disini?” Tanya Rendi dengan nada heran.
“Akang mau mencari pengalaman baru dan mencoba untuk mengadu nasib pergi ke Bandung.” Jawabku dengan tidak menjelaskan tujuanku pergi ke Bandung. Dan dia pun yang saya perhatikan mulai lancar dalam membuat sofa, setelah setahun membantu saya.
“Oh, iya! Jangan lupa sampaikan salam saya buat Rafsya, insya Allah nanti ba’da maghrib saya mau ke rumah kamu, mudah-mudahan Rafsya ada.” Timpalku dan mengakhiri percakapan. Dan Rendi pun hanya dapat meng “iya” kan saja.
Rafsya adalah teman dari Rendi yang pertama kali kujumpai dalam acara sebuah lawatan pengajian remaja di mesjid lingkungannya. Dan dari pertama kali melihatnya aku mulai merasakan yang mungkin dinamakan cinta. Namun harus bagaimana untuk memulai membuka tabir itu, yang sementara Rendi sendiri satu-satunya harapan saya untuk menjembatani seolah-olah tidak memfasilitasi saya untuk kenal sekali pun dengan Rafsya. Niatan saya untuk menemuinya pun tak pernah tersampaikan.
Enam bulan setelah kepergianku ke Bandung tanpa keberhasilan, akupun memutuskan untuk kembali ke Garut dan kembali ke pekerjaan lama.
“Assalamu’alaikum.” Kusapa Rafi yang sedang bergelut dengan pekerjaannya di sebuah layanan jasa photo copy.
“Wa’alaikum salam..!! Eh kamu Mad, kapan dari Bandung?” Jawabnya sambil bertanya kepulanganku. Hingga sampai tutup toko kami ngobrol ngalor-ngidul tentang pengalaman selama enam bulan tidak bertemu.
Rafi sahabatku ini memang akrab denganku, bahkan bisa dikatakan susah senang kami selalu berbagi.
“Kamu sekarang lagi dekat sama orang mana, Fi?” Tanyaku untuk membuka kembali obrolan yang sempat tadi tertunda.
“Entahlah Mad, mungkin ini sudah menjadi nasib saya. Beberapa bulan kemarin saya mengungkapkan perasaan cinta saya melalui surat yang saya titipkan lewat temen sekolahnya, tapi balasan yang saya terima jauh dari harapan saya. Dia tidak menerima cinta saya.” Ceritanya untuk menjawab pertanyaan saya.
“Hmm... Kalau boleh tahu sipa perempuan itu dan orang mana?” Tanyaku dengan heran, keheranan saya adalah lelaki yang menurut saya tampan bisa juga di tolak perempuan, “perempeuan seperti apa sih yang dia mau, orang setampan dia kok ditolaknya. Ah, mungkin perempuan itu memiliki alasan tertentu untuk menolaknya.” Gumamku dalam hati.
“Dia orang deket sini juga, rumahnya disebrang toko ini.” Jawabnya singkat. Dan akupun mulai memiliki untuk membantu memperjuangkan cintanya untuk dia dapatkan.
“Oya! Siapa orang itu mungkin saja saya kenal dia, dan mungkin saya bisa membantu kamu untuk mendapatkannya?” Timpalku menanyakan lagi nama perempuan itu serta menwarkan jasa untuk membantunya.
“Rafsya, kamu kenal gak?” Ada getir menjilat hati, perasaan berkecamuk, berbaur antara perih dan rasa tak percaya. Bagaimana pun aku mencintainya, namun dengan segala keterbatasan yang kumiliki aku tak pernah bisa mengatakannya. Terlebih saat ini sahabatku sendiri menginginkannya. Pikirku saat itu untuk kebaikan persahabatan ikhlasku, “ya, lebih baik aku membantunya. Mungkin jika aku mengungkapnya, orang setampan dia dan lebih berkecukupan bila dibandingku bisa ditolaknya apalagi aku. Dan dengan demikian akupun bisa berbahagia jika sahabatku ini bisa berbahagia dengan Rafsya.”
“Rafsya, aku kenal Fi. Seberapa besar cintamu terhadap dia? Dengan berpura-pura memperhatikan dan berkonsentrasi terhadap tanganku yang memainkan gitar, agar dia tidak tahu jika mataku berkaca dan air matanya hampir terjatuh.
“Aku sangat menginginkanya, Mad.” Jawabnya singkat.
“Jika kamu benar-benar menginginkannya, insya Allah saya siap membantu.” Dengan hadir kembali keceriaan dalam hati, aku mulai membuat sebuah konsefan puisi, namun beberapa kali aku mengulanginya, nampaknya teramat sulit bagiku untuk membuat puisi malam itu. Dan akhirnya aku ingat salah satu puisiku yang pernah di bukukan dan diterbitkan sebuah komunitas pujangga Garut. Tanpa pikir lagi aku menuliskan puisi itu untuk ia kirimkan kepada Rafsya.
Hari-hariku berjalan dengan rutinitas sebagai buruh yang bergerak dibidang furniture. Tanpa sebuah harapan, tak ada kecemasan bahkan tak ada pula mimpi-mimpi untuk meraih kebersamaan. Fokusku saat itu bagaimana aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi sahabatku yang menginginkan kebersamaan dengan Rafsya.
“Ren, nanti malam kamu ada acara gak ?” Tanyaku kepada Rendi.
“Enggak, mungkin habis pulang ngajar ngaji aku di rumah saja! Memang ada apa, Kang?” Dia berbalik tanya.
“Nanti malam Akang mau ke rumah kamu dan akang mau minta tolong kamu untuk mempertemukan Akang dengan Rafsya. Bukan untuk kepentingan Akang, tapi untuk sahabat Akang. Kamu tahu Rafi kan? Dia menginginkanya, maksud Akang nanti malam kerumah kamu untuk memberikan nomor handphone Rafi, sekalian Akang juga ingin bertemu dengannya. Tapi kamu jangan pernah bercerita tentang harapan Akang yang dulu sempat berharap kepada Rafsya, ya?” Panjang lebar aku menjelaskan maksudku yang sudah diinisiatfkanku sebelumnya. Ada rasa takut juga kalau-kalau Rendi menceritakan harapanku yang dulu tersirat terhadap Rafsya.
Inilah ujianku dalam persahabatan. Ikhlasku dengan harapan untuk kebaikan semua bisa terwujud. Tepat ba’da isya, terlihat dengan jelas ketika berjalan menghampiri sebuah rumah, kupandangi bulan yang tanpa mega menutupi. “Rabb, harus seperti purnama itu yang menerangi buana ini yang tanpa pamrih dalam berbuat kabaikan.” Gumamku dalam perjalanan.
“Assalamu’alaikum...” Dengan suara lantang aku ucap salam dan mengetuk pintu rumah Rendi.
“Wa’alaikum salam...!! Eh Akang, yuk masuk.” Ajak Rendi.
“Gak usah Ren, disini saja” Pintaku saat itu.
“ Sebentar Kang saya panggil dulu Rafsyanya.” Sambil memutar badan dan memanggil Rafsya yang memang rumahnya agak berdekatan.
Jantungku berdetak kencang, dengan samar dibawah cahaya purnama sesosok gadis cantik menghampiriku dengan rambut terurai, serta menggunakan jaket dan celana jean’s yang samar-samar kulihat warnanya. Namun untuk kecantikannya begitu terlihat jelas. Bagaimapun aku pernah berharap kepada Rafsya.
“Eeehh, Kang Achmad... Bagaimana kabarnya Kang?” Sapa gadis cantik itu dengan mengulurkan tangan. Dengan jantung yang masih berdeguk kencang, aku menjabat tangannya.
“Alhamdulillah kabar Akang baik-baik saja”. Sambil melepaskan jabatan tangan, aku menjawabnya.
“Bagaimana perkembangannya dengan Rafi?” Timpalku menanyakan tentang PDKT Rafi terhadapnya.
“Ya sebatas itu-itu saja.” Tanpa bisa kuterka tentang perasaanya terhadap Rafi, seperti itulah jawabannya.
“Ini nomor handphone Rafi, bisa di ingat gak?” Dengan menyebutkan satu-satu dari dua belas angka pada layar handphoneku, dan di ikutinya.
“Aku hafal nomornya.” Dengan menyebutkan angka-angka tadi.
“Nanti Rafinya di SMS ya?! Jangan pernah merasa malu untuk menghubunginya, sebab dia sangat berharap sama Rafsya.” Kataku yang dibalas dengan senyumannya yang mungkin meng“iya”kan. Dan aku berpamitan untuk pulang.
Seperti gemericik air dimusim hujan, ia turun kebumi hanyut kedalamnya dan entah kemana harapan itu bermuara. Aku yang berniat membantu sahabat, begitu tulus melakukannya.
“Gimana Fi, Rafsya kirim SMS gak? Sahutku malam itu menanyakan yang kurencanakan. Dan sebelumnya setelah beberapa hari saya dan Rafi tak bertemu.
“Ada, ini SMSnya belum dihapus. Tadinya aku pikir SMS dari orang yang salah sambung.” Sambil memperlihatkan handphonenya Rafi menjawab.
“Coba saya baca, boleh gak?” Dengan sumringah aku ingin tahu isi dari SMSnya.
“Boleh!” Singkat jawabnya dan memberikan Handphonenya kepadaku. “Di pagi yang cerah ini A. Rafi lagi apa? Dah mandi belum?” Demikian isi dari SMS itu.
“Hari minggu nonton yuk ke bioskop, kebetulan ada film “Heart” sekalian ajak Rafsya ikut?!” Ajakku malam itu pada Rafi.
“Bener ni, aku pingin nonton film itu, kebetulan aku ingin tahu suasana nonton di bioskop.” Jawabnya dengan semangat.
“Tapi kira-kira bakalan mau gak ya kalau kita ajak?” Timpalnya pesimis.
“Coba saja dulu ajak, mungkin dia mau kok.” Jawabku menyemangatinya.
Minggu pagi dimana pada keramaian lapangan olah raga merdeka Kerkof, entah disengaja atau tidak.
“Hai..., kenapa dah pulang?” sahutku pada Rafsya yang nampaknya akan meninggalkan lapangan itu.
“Iya, aku belum beres-beres rumah” Mungkin dengan candaan khasnya, Rafsya menjawab. Sementara Rafi dan salah satu temanku hanya bisa memperhatikan percakapanku dengan Rafsya.
“Gimana nanti siang jadi gak nontonnya?” Tanyaku pada Rafsya yang sebelumnya sudah di ajak sama Rafi.
“Insya Allah...” Dengan tersenyum ia menjawabnya. 
“Nanti kalau jadi tunggu di depan bioskop saja ya?” Kataku sebelum berpisah di lapangan itu. Rafsya hanya menganggukan kepala dan keluar dari arena itu.
Sesuai yang telah dijanjikan sebelumnya, berdiri di depan bioskop seorang gadis cantik mengenakan kemeja warna pink dan memakai rok warna putih yang dipadukan dengan kerudung warna putih pula. Terkesima aku melihatnya, inilah Rafsya yang dulu pernah membuatku jatuh cinta, berbeda dengan pertemuan malam itu ketika aku menemuinya untuk memberikan nomor handphone Rafi. Dengan kesadaran yang ada, “Astaghfirulloh, dia bukan untukku.” Gumamku dalam hati.
Setelah kami menemui Rafsya, kuajak mereka untuk membeli makanan ringan ke salah satu toserba yang dekat dengan bioskop itu.
Dari awal kami menyimak film yang populer saat itu, dan nampaknya beberapa pasang mata tertuju, fokus pada pemutaran film “Heart” yang aku pikir hampir mirip kisahnya dengan kisahku. Jika ada... Ya, jika ada yang memperhatikan, sepasang mata berkaca hingga tak mampu membendung air mata. Itulah tangisan dari seorang lelaki yang tidak pernah diketahui cintanya, dan lebih memilih untuk membahagiakan sahabatnya. Tak apa, ini adalah tangisan untuk kebaikan semua. Semoga kamu akan selalu berbahagia sahabatku!
Sejak saat itu, aku tak pernah mendapati kabar dari mereka. Dan yang kutahu mereka telah resmi berpacaran, akupun merasa bahagia atas kebahagiaan mereka.
Setelah beberapa bulan atau mungkin satu tahun. Tepat beberapa hari setekah hari raya idul fitri, kembali kutemui Rafi dan mengajaknya kerumah saudara salah satu teman sekampungku untuk memancing di daerah Cisurupan, hitung-hitung refreshing dan menghabiskan masa liburan kerja. Sore itu sehabis mancing dan makan-makan aku mengajak Rafi ke rumah suadara yang terletak di daerah Cikajang, kutemui seorang gadis tapi tidak membuatku jatuh cinta. Dalam perjalanan kembali ke Cisurupan sambil mengendarai motornya Rafi menoleh ke belakang dimana aku duduk di belakngnya.
“Gimana Mad mau di terusin gak dengan gadis tadi yang ada di rumah saudaramu?” Tanyanya.
“Tidak Fi, dia tidak bisa membuatku jatuh cinta. Kalau sama gadis itu aku mau.” Kataku sambil menunjuk seorang gadis yang di bonceng remaja yang mungkin baru menginjak SMP dan tepat didepan motor yang Rafi kendarai.
Entah apa yang dilakukan Rafi, tiba-tiba motor itu berhenti dan gadis itupun turun dari motor, sementara anak remaja yang memboncengnya pergi entah kemana. Kemudian Rafi pun menghentikan motornya tepat didepan gadis yang belum diketahui namanya itu.
“Rafi!” Sambil mengulur tangan Rafi menyebutkan namanya sendiri.
“Susi” Jawab gadis itu dengan menjabat uluran tangan Rafi. Sementara aku yang punya niatan untuk memikat gadis itu, hanya bisa bengong saja sebelum sadar karena Susi mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya kepadaku. Kemudian kami pun bertukeran nomor handphone.
Entah apa yang ada dipikiran Rafi saat itu. Entahlah...???!!
Malam hari dirumahku yang tidak ada siapa-siapa karena seluruh keluarga pergi kerumah nenek yang berada di Singajaya, kecuali aku sendiri yang ada dirumah. Sepulang dari Cisurupan. Seperti janji yang telah direncanakan siang hari, kami sepakat untuk masak-masak ikan dirumahku.
Dengan kesibukan tugas masing-masing dalam acara masak-masak itu. Aku sempatkan bertanya sama Rafi.
“Apa yang kau lakukan Fi, cengar-cengir begitu?”
“Ini Mad aku lagi SMSan sama si Susi.” Jawabnya seolah tak mengingat Rafsya kekasihnya. Sebetulnya aku ingin marah, tapi untuk apa marahku? Aku ingin menegurnya, tapi aku takut kalau dia bilang aku ini so-soan mengatur hidupnya. “Semoga tak terjadi apa-apa dengan Rafsya. Maafkan akang Sya, Akang tak bisa untuk mencegahnya. Dan mudah-mudahan tak terjadi sesuatu yang tak di inginkan dalam hubungan kalian” Terucap sebuah harap dan do’a dalam hati untuk kebaikan hubungan Rafi dan Rafsya.
Harapanku tetap, agar Rafi dan Rafsya segera untuk menikah, apalagi tersiar kabar dari Rendi jika mereka akan segera melangsungkan pernikahaan. Lama aku tak menghampiri Rafi, bahkan aku mendengar dia akan segera melangsungkan pernikahan pun tahu dari Rendi teman kerjaku juga teman Rafsya.
Tanpa diduga pada malam itu HPku berbunyi tanda SMS masuk. Setelah kubaca, aku hanya terdiam dan tidak segera kubalas, tiada taranya aku bingung sebab SMS itu datang dari Rafsya yang menanyakan tentang perubahan sikap Rafi. Dan memang aku tidak pernah tahu kelanjutannya tentang bagaimana Rafi bersama Susi. “Akang tidak tahu Sya, sudah lama Akang tak bertemu dengan Rafi.” Demikian jawabku dalam membalas SMS itu.
Nampaknya perbuatan Rafi sudah tidak bisa di toleransi lagi. Namun apa dayaku tidak bisa berbuat banyak hal untuk mencegahnya. Rafi melakukan perselingkuhan dengan Susi, itupun atas pengakuan Rafi kepadaku yang aku temui keesokan harinya setelah menerima SMS dari Rafsya. Sungguh sebuah dilema bagiku saat itu, “Rabb, berikanlah kebaikan kepada kami.” Do’aku malam itu.
Ba’da maghrib bahakan aku belum sempat selesai membaca Al-Qur’an.
“Bang itu ada tamu mau ke Abang.” Kata adik perempuanku diluar kamar memberi tahu kalau ada tamu untukku malam itu. Setelah membereskan Al-Qur’an dan sajadah. Kuhampiri mereka dan betapa kagetnya, tanpa diduga Rafsya yang ditemani Rendi datang kerumah. Dan yang membuatku bertanya-tanya ada apa dengan Rafsya sebelum mengungkap apa yang terjadi terlihat dari kedua kelopak matanya telah nanar dan berkaca.
“Ada apa?” Tanyaku pada Rafsya yang aku kira tak mampu untuk berkata-kata.
“Katakan saja Sya sebelum semua terlanjur, tadi kan datang kesini mau menjelaskan tentang dia (Rafi).” Sambung Rendi seolah mendesak agar Rafsya mengatakan yang terjadi.
Entah apa yang dikatakan Rafsya saat itu dengan isak tangis seolah merasakan sakit atas perlakuan Rafi, sehingga yang kutangkap hanya perkataan yang menanyakan tentang perubahan sikap Rafi terhadapnya. 
Dan inilah ujian sesungguhnya persahabatanku dengan Rafi. Bagaimanapun Rafi adalah sahabatku, sementara Rafsya yang berjiwa perempuan dengan kelemahnnya. Dan aku yang seperti banyak orang mengatakan tentangku, seorang yang peka terhadap orang lain. Sungguh menyimpan kekecewaan terhadap Rafi yang telah menyia-nyiakan Rafsya dengan kesetiaannya. Tidak seperti dugaan Rafsya saat ini yang menduga jika aku memberi tahu perselingkuhan Rafi dengan Susi karena ada hati terhadapnya.
Wallohi jika aku harus bersumpah, pada saat itu aku mengatakannya tidak ada niatan sedikitpun untuk memilikimu. Aku mengatakannya karena tangisan seorang perempuan yang menghiba tentang kejelasan sebuah hubungan karena perubahan sikap. Bukan yang seperti saat ini yang kau tuduhkan untuku, aku masih punya hati mesti aku sempat berharap tentangmu. Siapa Rafi saat itu bagiku? Mungkin aku telah gila jika mengatakan hal itu dengan harapan dapat memilikimu.
Tak apa, jika kamu menuduhku seperti itu. Dan aku sangat menyesal telah bercerita bagian masa laluku yang sempat berharap tentangmu jika dugaanmu seperti itu. Perlu kamu ingat, waktu itu niatanku hanya ingin menyelamatkanmu dari perselingkuhan bukan untuk sebuah harapan bisa memilikimu.


Ditulis: 2-3 November 2013

Sabtu, 05 Oktober 2013

Kerinduan yang Berakhir Dengan Air Mata

Selalu saja kudapati tentang angin berbisik bersuara merdu kerinduan. Kisah lalu menjadi sebuah inspirasi berwujudnya kelukaan nan panjang.

Siang itu didepan komputer tempat kerja.

"Assalaumu'alaikum..." Kudapati sapa seorang sahabat lama dalam obrolan Facebook.

"Wa'alaikum salam..." balasku dengan cepat.

“Kang, apakah seorang laki-laki suka merindukan perempuan yang pernah hadir dalam kehidupannya?” Tanyanya seraya ia merindukan seseorang yang pernah menghiasi hidupnya, atau mungkin pernah menggoreskan tinta merah dalam lembar kisahnya. Dan sekaligus membuat aku terkejut, bukan terkejut karena dengan tiba-tiba ia menanyakan hal seperti itu, tapi aku terkejut karena seolah ia tahu akan hati ini yang memang sedang merindukan seseorang yang telah berlalu.

“Tentu, Akang pun suka merindukan dia yang telah lalu, bahkan Akang sampai menitikan air mata jika merindukannya. Namun terlepas dari itu semua, tergantung bagaimana seorang laki-laki itu memiliki cara untuk menyikapinya. Disini Akang hanya menceritakan diri sendiri, dan Akang merasa seperti itu.” Jawabku dengan sedikit panjang lebar. Dan jika yang disebrang sana tahu, ada setetes bening terjatuh mengenai tanganku. Ya, tangis kerinduan yang tak pernah tersampaikan.

“Wahhh masa Kang?! Kok, seorang laki-laki juga bisa seperti itu?” Mungkin dengan merasa heran dan seolah tak mempercayainya ia mencoba menanyakannya.

“Tentu, bahkan seorang pujangga bisa meneteskan air mata jika merindukan seseorang dan ia pun memiliki hati lebih sensitif dari pada kaum perempuan.”

Senja beringsut memasuki malam, sementara kemuning pagi masih menyisakan tangis. Dengan berkecamuk akan rasa tak dihiraukan dengan kerinduan. Kuberanikan kukatakan.

Ba’da maghrib tibanya dari pulang kerja.

“Mungkin Nisa tak pernah sadar tentang puisi-puisi kerinduan itu. Itu puisi masih bercerita tangtang kerinduan untuk Nisa. Maaf, jika Akang masih merindukan Nisa” Demikian kukirim SMS dengan rasa berat hati karena rasa takut tak dihiraukannya. Namun kerinduan telah mengalahkan segalanya.

“Iya Kang, Nisa tahu kok .” Dengan singkat ia pun membalas.

“ , Akang kira Nisa tak mengetahuinya .“ Dengan segurat senyum aku menjawabnya.

“Iya Nisa tahu, tapi Nisa gak bisa bilang apa-apa dengan keadaan yang sudah seperti ini.” Tulisnya dalam SMS sebagai jawab dari SMSku.

“Akang memahaminya. Dan Akang cukup merasa bahagia jika Nisa mengetahui tentang kerinduan Akang.”

“Alhamdulillah kita masih bisa komunikasi, karena kalau jodoh siapa yang tahu, Kang.”

“Iya Nis. Dan rasanya Akang ingin sekali meninggalkan jejak-jejak kisah kita dan menuliskan tentang kisah lain (memulai kisah baru), namun itu semua tak semudah membalikan telapak tangan. Dan kenyataan, Akang masih merindukan Nisa. “Istaqtu jiddan liru’ya kaaina, yaa habibi qolbi...!!” Dengan tetesan air mata kembali kutuliskan dan kukirimkan SMS untuknya.

“Miss you to, Kang!” Jawabnya yang membuat kelukaan semakin menyayat hingga air mata kian deras membasahi. Semua telah membawaku pada lamunan dan harapan yang terasa semakin jauh untuk kudapatkan. Namun keyakinanku tetap akan janji Allah : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum21).

“Bang, baaanngg bukannya mau makan.” Terdengar suara mama yang menyadarkan lamunanku, dan aku pun segera menghampiri serta menyeka air mata.


Sekian.

Jumat, 16 Agustus 2013

Miniatur Candi di Pesisir Pameungpeuk



Perlahan jemari menyeka mata dan tetes airnya, adalah segurat nasib akan kerinduan tentang bahagia melalui sayap pengharapan, yang tak pernah bersemayam walau dalam sebuah mimpi-mimpi.

“Assalamu’alaikum, Akhi...!!” Terdengar lirih merdu suara perempuan tanda penghormatan salam dan menyadarkan lamunanku. Dan aku hanya terdiam tanpa sepatah kata terucap.

“Kenapa salamnya tidak dijawab? Aku yakin jika Akhi ini seorang muslim.” Ia pun menyusul salamnya dengan pertanyaan yang seakan mendesak agar aku menjawab salamnya. Dengan sedikit ketenangan aku pun menjawab.

“Wa’alaikum salam, maaf tadi saya sedang berada dalam sebuah lamunan sehingga saya merasa kaget dengan salam yang tadi di ucapkan Ukhti.” Sesungging senyum aku lempar dengan harap agar ia tak merasa kecewa dengan kejadian sebelumnya. Nampak sedikit ragu ia pun membalas senyumku dan berujar.

“Maaf Akhi kalau saya mengganggu, ada sedikit penasaran dengan apa yang Akhi lakukan di pesisir pantai ini. Dari tadi saya perhatikan bahkan saya sempat menghilangkan penat dengan menyusuri dari ujung hingga keujung pantai, Akhi seakan tak pernah bosan dengan apa yang sedang Akhi lakukan. Kalau boleh tahu, apa yang sedang Akhi lakukan?” Sedikit panjang lebar ia mengungkap kepenasarannya.

“Saya sedang membangun sebuah miniatur candi dengan pasir ini, Ukhti.” Dengan senyum yang mengiringi sebuah jawab, aku menjawabnya dengan begitu singkat.

“Sampai kapan Akhi mengakhirinya, sementara ombak yang setiap saat menghantam dan melelet gundukan pasir itu?” Seolah mencemaskanku ia bertanya.

“Sampai selesai.” Jawabku singkat dengan sesekali tanganku mengulangi, membangun miniatur candi.
“Memang tak ada yang mustahil di dunia ini, tapi aku tak percaya jika Akhi akan mampu menyelesaikannya.” Perkataan yang menurutku sangat bijak jika aku memikirkannya. Dan aku pun hanya bisa menjawabnya dengan sebuah senyuman saja.

“O, iya! Dari tadi kita bercakap tanpa saling tahu nama kita masing-masing. Siapa nama Ukhti?” Bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan, aku pun menanyakan namanya.

“Rasmie, tapi Akhi jangan memanggilku dengan sebutan Mie ya, heheheh” Baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas, kemudian ia bertanya.

“Nama Akhi sendiri siapa?”

“Panggil saja saya Achmad.” Setelah saya menjawab kemudian ia pamit untuk memberikan sesuatu yang katanya untuk saudaranya.

Sebuah kelelahan jika harus kutapaki, dan ini adalah keyakinan jika hujan akan terhenti saat mengguyur ketika aku tak berpayung pelindung. Seperti kuyakini rembulan yang akan juga muncul pada saatnya meski ia akan berwarna apa.

Aku yang dari tadi duduk melipat kaki, sementara air laut telah surut. Dengan senyum penuh kemenangan sebuah bangunan miniatur candi di pesisir Pameungpeuk meski tak begitu rapi terselesaikan.

“Selamat Kang, dengan perjuangan dan kegigihan yang tadi aku tak mempercayainya ternyata Akang mampu menyelesaikannya. Dan aku yakin jika apa yang Akang lakukan memiliki makna yang teramat personal untuk mengungkapnya. Aku do’akan semoga sukses dengan penantiannya, hingga penantian Akang tak akan sia-sia, seperti halnya akang membangun miniatur itu berulangkali hingga Akang mampu menyelesaikannya.” Terhenyak lamunanku, dengan tiba-tiba dan tanpa aku duga, Rasmi dengan setengah duduk sekitar 50 cm disampingku yang langsung memberi ucapan selamat dan mendo’akanku seolah ia tahu dengan keberadaan hatiku yang sesungguhnya.

Pameungpeuk, 11 Agustus 2013