Perlahan
jemari menyeka mata dan tetes airnya, adalah segurat nasib akan kerinduan
tentang bahagia melalui sayap pengharapan, yang tak pernah bersemayam walau
dalam sebuah mimpi-mimpi.
“Assalamu’alaikum,
Akhi...!!” Terdengar lirih merdu suara perempuan tanda penghormatan salam dan
menyadarkan lamunanku. Dan aku hanya terdiam tanpa sepatah kata terucap.
“Kenapa
salamnya tidak dijawab? Aku yakin jika Akhi ini seorang muslim.” Ia pun
menyusul salamnya dengan pertanyaan yang seakan mendesak agar aku menjawab
salamnya. Dengan sedikit ketenangan aku pun menjawab.
“Wa’alaikum
salam, maaf tadi saya sedang berada dalam sebuah lamunan sehingga saya merasa
kaget dengan salam yang tadi di ucapkan Ukhti.” Sesungging senyum aku lempar
dengan harap agar ia tak merasa kecewa dengan kejadian sebelumnya. Nampak sedikit
ragu ia pun membalas senyumku dan berujar.
“Maaf Akhi
kalau saya mengganggu, ada sedikit penasaran dengan apa yang Akhi lakukan di
pesisir pantai ini. Dari tadi saya perhatikan bahkan saya sempat menghilangkan
penat dengan menyusuri dari ujung hingga keujung pantai, Akhi seakan tak pernah
bosan dengan apa yang sedang Akhi lakukan. Kalau boleh tahu, apa yang sedang Akhi
lakukan?” Sedikit panjang lebar ia mengungkap kepenasarannya.
“Saya
sedang membangun sebuah miniatur candi dengan pasir ini, Ukhti.” Dengan senyum
yang mengiringi sebuah jawab, aku menjawabnya dengan begitu singkat.
“Sampai
kapan Akhi mengakhirinya, sementara ombak yang setiap saat menghantam dan
melelet gundukan pasir itu?” Seolah mencemaskanku ia bertanya.
“Sampai
selesai.” Jawabku singkat dengan sesekali tanganku mengulangi, membangun
miniatur candi.
“Memang
tak ada yang mustahil di dunia ini, tapi aku tak percaya jika Akhi akan mampu
menyelesaikannya.” Perkataan yang menurutku sangat bijak jika aku
memikirkannya. Dan aku pun hanya bisa menjawabnya dengan sebuah senyuman saja.
“O, iya!
Dari tadi kita bercakap tanpa saling tahu nama kita masing-masing. Siapa nama
Ukhti?” Bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan, aku pun menanyakan namanya.
“Rasmie,
tapi Akhi jangan memanggilku dengan sebutan Mie ya, heheheh” Baru kali ini aku
melihatnya tertawa lepas, kemudian ia bertanya.
“Nama
Akhi sendiri siapa?”
“Panggil
saja saya Achmad.” Setelah saya menjawab kemudian ia pamit untuk memberikan
sesuatu yang katanya untuk saudaranya.
Sebuah
kelelahan jika harus kutapaki, dan ini adalah keyakinan jika hujan akan
terhenti saat mengguyur ketika aku tak berpayung pelindung. Seperti kuyakini
rembulan yang akan juga muncul pada saatnya meski ia akan berwarna apa.
Aku yang
dari tadi duduk melipat kaki, sementara air laut telah surut. Dengan senyum
penuh kemenangan sebuah bangunan miniatur candi di pesisir Pameungpeuk meski
tak begitu rapi terselesaikan.
“Selamat
Kang, dengan perjuangan dan kegigihan yang tadi aku tak mempercayainya ternyata
Akang mampu menyelesaikannya. Dan aku yakin jika apa yang Akang lakukan
memiliki makna yang teramat personal untuk mengungkapnya. Aku do’akan semoga
sukses dengan penantiannya, hingga penantian Akang tak akan sia-sia, seperti
halnya akang membangun miniatur itu berulangkali hingga Akang mampu
menyelesaikannya.” Terhenyak lamunanku, dengan tiba-tiba dan tanpa aku duga,
Rasmi dengan setengah duduk sekitar 50 cm disampingku yang langsung memberi
ucapan selamat dan mendo’akanku seolah ia tahu dengan keberadaan hatiku yang sesungguhnya.
Pameungpeuk, 11 Agustus 2013