Pages

Jumat, 16 November 2012

Kisah Bertirai Dari Bukit Rindu

Lepas senja dengan selembar kertas atas nama kisah, laut membiru dengan gumpalan ombak membelah sejengkal harap angin berlalu. Risauku telah hadirkan kata-kata dari kemuraman bahasa bertajuk ruang hampa imajinasi. Disinilah, semilir angin membantuku dengan sisa dan jejak uraian kalimatnya.

Terima kasih engkau, yang senantiasa membisiki pagi dengan bening embun sebagai sumber inspirasiku, dan lebi
h besar terima kasihku dengan diluaran damba yang kutiti kaki telah berpijak pada helaian kisah bertemakan aroma menusuk jika tercium malam berselimut rembulan yang memayungi teduh nirwana.

Sayu terpancar tatap mata
Rindu menggurat
Berhias cakrawala keindahan
Buih mengapung angin nan lalu
Kilauku selembut bening berkias

Curah hujan terhenti kesucian
Menjelma karang tanpa takut menghadap badai prahara

Kisah itu ‘kan berlalu, berganti dan berbisik “akulah kisahmu yang sesungguhnya".


Telah berbantalkan lengan tidurku untuk menyibak mimpi-mimpi harap yang terkasih berbuai asmara dalam lagu terindah, seindah alunan kisah sebuah “perasaan” tentang mengasihi dan menyayang dibalik tirai kemegahan puisi-puisi terindah karya pujangga di muka bumi ini.

Senandungku terperikan dan membius tujuh warna pelangi. Atau suaraku lebih lantang dari lolongan srigala memecah sunyi keabadian yan
g ada. Secawan anggur dalam bejana itu telah kureguk hingga mataku tiada lagi melihat keindahan yang hanya kemuraman bahasa. Ya, aku telah jatuh cinta dengan keindahan kata yang sesungguhnya.

Tirai itu… masih saja kerap membentengi kerinduan dan bertalikan harap keindahan laguku memudar tanpa jejak. Beriringan pawana memutih, ketulusan cinta laksana embun yang tak henti menyejukan pagi hingga terkikis panggilan mentari dan terjatuh dalam kesuburan sebuah tanah dan menampilkan bunga-bunga keindahan untuk bekal langkah dengan wanginya.