Pages

Jumat, 04 Januari 2013

Luruhnya Hujan di Kota Intan

Kisaranku kali ini adalah untuk sebuah episode yang telah lalu. Tenggelam dalam tutur harap tanpa awan putih sebagai dinding hati, adalah percik hujan hingga menghanyutkanku dalam buai angan-angan kosong.

"Ka, apa yang sedang engkau lakukan?" demikian sebuah kalimat pertanyaan melalui pesan singkat.

"Sekedar melepas penat, kakak hanya memperhatikan anak-anak bermain di halaman rumah" balasku dallam pesan singkat itu.

"Kak mohon maaf ya jika saya tak bisa meneruskan hubungan kita ini"

Ada getir menjilat hati, sementara hujan luruh hingga ujung kelopak mata. Ini adalah skenaroimu, perananku tak lagi berwujud dalam ceritamu, terhempas dan kandas dalam lakon gelombangnya.

Telah aku ungkap dan aku paparkan tentang sebuah harap yang mewengku hingga kedalaman sanubari. Namun seperti buih mengambang diatas hamparan laut, percikannya pun tak meninggalkan jejak tatkala sebuah hati meluluhkan sebuah harap.

"Nie, apa maksud dari semua ini, hingga kamu ingin mengakhirinya?" tanyaku dengan rasa ingin tahu dari alasannya.

Hanya sebuah jawab nan abstrak untuk mengakui keakuanmu, dan aku terbuai dalam angan-angan kosong untuk mewujudkan mimpi serta harapku.

Musim telah berganti, kencangnya kendali tak lagi membawaku pada kedamaian. Hanya menanti terbit fajar agar siang menjadi peristiwa indah. Peristiwa indah hanya menjadi bagian dan melengkapi langkah yang kutiti kaki. Engkau menghilang dalam musim sesaat.


Baru saja kemarin engkau ingin mengakhirinya...

Ini adalah jiwa kesatria perihku, ini adalah kamu dengan bergelut kebahagiaan. Dan ini adalah dia yang kerap berdiri sebagai ujung tombak yang siap menghunus peran dan lakonku.

Ya... dalam musim sesaat, dan baru saja kemarin engkau menuturkan tentang segala harap untuk mengakhiri deru angin beserta kesejukan napas hingga kesetiaanku untuk menanti terbit fajar.

"Nie, kenapa kau blokir juga akun Facebookku, serta meremove saudara, sahabat dan temanku dari pertemanan denganmu?" seraya mata berkaca dan menghela napas panjang, aku kirim pesan singkat itu. Namun hingga saat ini setelah ratusan senja berlalu tak pernah kutemui kedua jawab itu.

Percikan air kian menenggelamkan perahu beserta layar yang telah robek, separuh wujud telah tak berhaluan hingga meninggalkan sujud tak berpedoman. Dan hanya sebuah nyanyian ghaib dengan tak ada nada sumbang sekalipun.

Inilah adil dan sayang-Mu wahai Engkau Sang Pemilik Semesta.

"Jo, kamu lagi buka Facebook? Ijinkan aku untuk melihat akun seseorang". Parau suaraku bertutur mengharap ikhlas Joan mengijinkan dan meminjamkan Handphonenya.

"Boleh.." dia memberikan Handphonenya.

"Camelia Nuranie Berpacaran Dengan Galih Eka Satria". Demikian semua jawab yang kutemui.

Dengan seribu bahasa kau bentuk, kebahagiaanmu berwujud dan tak lagi berpikir tentang prasasti dengan pahatannya. Dia yang berdiri dengan gemerlap megahnya dunia fana telah mengungguli setiap detak dan desah napasku. Ini aku dengan catatan perih menggores setiap nada yang membentang di kesunyian malamku.

Terima kasih telah hadir dalam berbagai bentuk imajinasi yang telah kurambah hingga keujung ceritanya, yang entah canda atau sandiwara hidup, yang jelas rasa yang kubawa kedalam pikiran-pikiranku adalah rasa yang mengakhiri puisi tragis.

Engkau, berbekalah bunga-bunga agar semerbak sepanjang hari dan sepanjang langkahmu. Jika cinta harus lewat, biarkan hasrat memberinya batas ujian. Jangan dibenci atau sekalipun membakarnya.

2 komentar:

  1. hilang satu tumbuh seribu kang... hehehe... semoga si tokoh dalam cerpen ini mendapat pengganti yang lebih baik :)

    BalasHapus
  2. Aamiin yaa Allah..
    Terima kasih Bu.. :)

    BalasHapus