Pages

Jumat, 16 Agustus 2013

Miniatur Candi di Pesisir Pameungpeuk



Perlahan jemari menyeka mata dan tetes airnya, adalah segurat nasib akan kerinduan tentang bahagia melalui sayap pengharapan, yang tak pernah bersemayam walau dalam sebuah mimpi-mimpi.

“Assalamu’alaikum, Akhi...!!” Terdengar lirih merdu suara perempuan tanda penghormatan salam dan menyadarkan lamunanku. Dan aku hanya terdiam tanpa sepatah kata terucap.

“Kenapa salamnya tidak dijawab? Aku yakin jika Akhi ini seorang muslim.” Ia pun menyusul salamnya dengan pertanyaan yang seakan mendesak agar aku menjawab salamnya. Dengan sedikit ketenangan aku pun menjawab.

“Wa’alaikum salam, maaf tadi saya sedang berada dalam sebuah lamunan sehingga saya merasa kaget dengan salam yang tadi di ucapkan Ukhti.” Sesungging senyum aku lempar dengan harap agar ia tak merasa kecewa dengan kejadian sebelumnya. Nampak sedikit ragu ia pun membalas senyumku dan berujar.

“Maaf Akhi kalau saya mengganggu, ada sedikit penasaran dengan apa yang Akhi lakukan di pesisir pantai ini. Dari tadi saya perhatikan bahkan saya sempat menghilangkan penat dengan menyusuri dari ujung hingga keujung pantai, Akhi seakan tak pernah bosan dengan apa yang sedang Akhi lakukan. Kalau boleh tahu, apa yang sedang Akhi lakukan?” Sedikit panjang lebar ia mengungkap kepenasarannya.

“Saya sedang membangun sebuah miniatur candi dengan pasir ini, Ukhti.” Dengan senyum yang mengiringi sebuah jawab, aku menjawabnya dengan begitu singkat.

“Sampai kapan Akhi mengakhirinya, sementara ombak yang setiap saat menghantam dan melelet gundukan pasir itu?” Seolah mencemaskanku ia bertanya.

“Sampai selesai.” Jawabku singkat dengan sesekali tanganku mengulangi, membangun miniatur candi.
“Memang tak ada yang mustahil di dunia ini, tapi aku tak percaya jika Akhi akan mampu menyelesaikannya.” Perkataan yang menurutku sangat bijak jika aku memikirkannya. Dan aku pun hanya bisa menjawabnya dengan sebuah senyuman saja.

“O, iya! Dari tadi kita bercakap tanpa saling tahu nama kita masing-masing. Siapa nama Ukhti?” Bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan, aku pun menanyakan namanya.

“Rasmie, tapi Akhi jangan memanggilku dengan sebutan Mie ya, heheheh” Baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas, kemudian ia bertanya.

“Nama Akhi sendiri siapa?”

“Panggil saja saya Achmad.” Setelah saya menjawab kemudian ia pamit untuk memberikan sesuatu yang katanya untuk saudaranya.

Sebuah kelelahan jika harus kutapaki, dan ini adalah keyakinan jika hujan akan terhenti saat mengguyur ketika aku tak berpayung pelindung. Seperti kuyakini rembulan yang akan juga muncul pada saatnya meski ia akan berwarna apa.

Aku yang dari tadi duduk melipat kaki, sementara air laut telah surut. Dengan senyum penuh kemenangan sebuah bangunan miniatur candi di pesisir Pameungpeuk meski tak begitu rapi terselesaikan.

“Selamat Kang, dengan perjuangan dan kegigihan yang tadi aku tak mempercayainya ternyata Akang mampu menyelesaikannya. Dan aku yakin jika apa yang Akang lakukan memiliki makna yang teramat personal untuk mengungkapnya. Aku do’akan semoga sukses dengan penantiannya, hingga penantian Akang tak akan sia-sia, seperti halnya akang membangun miniatur itu berulangkali hingga Akang mampu menyelesaikannya.” Terhenyak lamunanku, dengan tiba-tiba dan tanpa aku duga, Rasmi dengan setengah duduk sekitar 50 cm disampingku yang langsung memberi ucapan selamat dan mendo’akanku seolah ia tahu dengan keberadaan hatiku yang sesungguhnya.

Pameungpeuk, 11 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar